Anak anak ajaib

Anak anak ajaib
mereka selalu ngangenin..

Rabu, 24 Oktober 2018

Gelembung Bias


Gelembung Bias

Jadi tulisan ini bukan untuk tim sukses salah satu calon politik, karena mereka memang dibayar untuk bikin “framing” di media sosial.

Istilah gelembung bias ini saya kutip dari vlognya Pandji Pragiwaksono, dan kabarnya istilah ini muncul pertama kali dari Presiden Barrack Obama juga.

Jadi aplikasi google dan media sosial lainnya memliki algoritma sendiri dalam memunculkan  kabar berita atau sebuah rekomendasi, sesuatu yang pernah kita searching/like/tanggapi akan secara otomatis hal serupa akan muncul kembali di akun kita. Contoh : kalau misal kita pernah atau beberapa kali menanggapi salah satu berita yang menjelekkan salah satu calon maka berita serupa akan muncul terus di media sosial kita atau kalau di instagram kita pernah “like” postingan #gantipresiden2019 atau #Jokowi2periode maka di pencarian instagram kita akan muncul hal yang berkaitan dengan itu. Secara otomatis, kita akan terus diasupi berita semacam itu (berita yang terus menjelekkan jokowi atau berita yang terus memuji Jokowi) sehingga kita sulit menerima kebenaran lainnya.

Selain itu, Apabila kita mempunyai banyak grup di media sosial, baik itu grup WA, Line , FB ataupun grup lainnya, akan ada banyak group yang “copas-copas” opini politik yang misal menjelekkan Jokowi, maka secara otomatis otak kita udah penuh dengan semua kejelekan-kejelakan Jokowi meskipun infrakstruktur terus ddikejar, kalau misal isi grup yang selalu memuji Jokowi, maka otak kita akan penuh dengan “bunga-bunga” betapa hebatnya Jokowi sehingga kita lupa utang luar negeri yang meningkat dan masih banyak kasus HAM yang belum diusut. Kalau kita terjebak di satu gelembung saja, maka kita akan terkurung di gelembung bias.
Maksud saya adalah,  berimbanglah dan berlaku adil semenjak dari pikiran.
Kalau mau follow Jonru, maka follow jugalah Dany Siregar misalanya, kalau nonton metro, maka tontonlah juga TV one misalnya,, ahaha..  biar kita mempunyai sudut pandang yang luas dalam sebuah permasalah dan agar inforamsi yang kita terima bisa datang secara utuh sehingga kita dapat menentuka sikap dengan bijaksana.
Di twitter ataupun di FB beberapa akadeimisi juga semakin banyak yang aktif di media sosial yang beberapa kali share berita yang agak tendensisus, ya ngga apa-apa..  boleh aja kok, boleh banget malahan. Kesadaran untuk tidak berada di gelembung bias yang mesti terus kita tingkatkan.

Tapi ahh, saya kadang juga gitu.. ahaha

Saran saya sih, bijaklah dalam “share” sesuatu di media sosial. Saya juga masih belajar tentang ini.

Jumat, 02 Februari 2018

Tentang teman


Kemaren itu, harusnya saya unggah gambar mereka..
.
Tentang teman,
.
Saya punya banyak teman, teman dikampung, teman kuliah, teman di medsos, teman organisasi, teman kos, teman kerja dan jenis teman lainnya..
.
.
Dan saya percaya bahwa setiap fase hidup yg kita jalani, bagian hidup yang kita miliki dan perjalanan panjang yg kita jalani memiliki "temannya sendiri". Kalau pake istilahnya kamu, "memiliki porsi sendiri"..
.
Tapi apakah ada teman yg hadir dan peduli disetiap fase dan bagian kehidupan? Tentu ada.
.
Apakah ada teman yg memiliki porsi lebih atau menemani di beberapa bagian hidup saja?Tentu juga ada..
.
Kalau teman "hahahihi" doang? Jelas ada lah.
.
Mereka yang diatas (yang di foto), tentu tidak menjadi teman ketika saya berlelah-lelah 6 tahun kuliah S1 dulu, atau mereka bukanlah teman bermain bola di sawah dulu atau teman mencuri jambu di pekarangan rumah tetangga ketika usia masih satu digit angka..
.
.
Yang difoto itu adalah teman ketika pemahaman hidup mulai berubah, teman ketika hidup mulai tak ramah, teman ketika hidup mulai sumringah lagi dan sampai sekarang..
.
.
Mereka pasti marah kalau baca ini, karna mereka selalu tidak terima kalau dibilang teman ataupun sahabat..
.
.
Oiyaa.. meskipun di foto itu ada Pak Anies, saya bukanlah temannya diaa karna dia ngga kenal saya juga.. 😐
.
.

#30haribercerita #30hbc1809 @30haribercerita

Senin, 26 September 2016

Untuk apa merayakan hari kemerdekaan ?

Ini tulisan 17-agusutusan kemaren yg di post di FB,,

Tulisan macam ini,, tulisan tulisan yg memertanyakan lagi arti merdeka atau sejenisya mungkin akan berserakan di wall FB, di grup WA ataupun di grup media sosial lainnya (saya ijin nambah tulisan ini satu, biar makin banyak berserakan :D ).
Hari ini, setahun yang lalu saya ikut upacara bersama anak anak ajaib di Selengot, Kabupaten Paser. Saya masih ingat waktu itu, upacaranya berjalan khidmat, dan emak emak disana pun terpaku (bangga) melihat anak anaknya menjadi pengibar bendera merah putih. Pokoknya, waktu itu, "kadar" rasa nasionalime saya meningkat drastis (kalau Indonesia lagi perang, saya udah siap bnget waktu itu.. haha). Apakah itu tujuan merayakan hari kemerdekaan? atau biar romantis kayak memperingati se-minggu pernikahan/jadian ?
oia.. bebrapa jam setelah upacara itu, perut saya lapar, rasa nasionalisme tadi entah kemana.. Anak anak yang mengibarkan bendera tadi, juga sudah kelaut bersama bapaknya,demi bisa makan malam ini. jadi sekarang gimana? apakah sekarang saya dan anak anak itu masih punya nasionalisme?
ya.. ,mungkin ada lah..
Hari ini, saya ngga ikut upacara (bingung mau upacara kemana). Seharian ini, saya cuma"menggelembung" di kos dengan memutar lagu lagu nasionalisme (berharap rasa "itu" muncul lagi). Iya.. setelah memutar beberapa lagu kemerdekaan, rasa "itu" datang lagi. Tapi cukup beberapa lagu saja karena perut saya kembali lapar.
Apa kabar dengan rasa cinta tanah air orang orang yang tidak bisa makan dipelosok sana? Apa kabar rasa nasionalime dengan orang orang yg setiap hari mengais makan di sudut jalanan kota ini?
Pasti ada lah!
tapii... ahaha..
Haloo ibu pertiwi... kami ingin mencintai negeri ini apa adanya, tapi kata orang, mencintai itu nga bisa modal "cinta" doang.
Apa bapaknya "si dia" mau kalau saya lamar anaknya dengan cinta doang?.Pasti bapaknya nanya sambil marah marah,"mau kamu kasih apa makan anak saya!?" (trus kawin lari, trus anaknya mati kelaparan karna makan cinta doang)
Haloo bapak-bapak, ibuk-ibuk yang sedang mengurus negeri ini, yg lagi sibuk risapel risapel mentri, bantu kami unuk percaya kepada negara ini. Kata orang orang, salah satu modal paling penting untuk mencintai dan dicintai itu adalah kepercayaan.
Maafkan tulisan aneh, agak pesimis dan alay ini.
Yaaa.. Pokoknya merdeka lah!

Jumat, 18 Maret 2016

Diajarkan dan Mengajarkan



“Ketika diluar sana listrik mati beberapa jam saja sudah merasa risau, anak anak disini tidak pernah menjadikan listrik sebagai alasan untuk tidak bahagia, meskipun listrik tidak pernah ada disini”.
SELENGOT. Tahukah daerah ini? Tidak? Wajar, karena secara GPS atau Sistem Pemetaan online, Desa Selengot tidak terdeteksi. Hampir sepuluh bulan ini saya tinggal di Desa Selengot, Kecamatan Tanjung Harapan, Kabupaten Paser, yang terletak di Teluk Apar, Selat Makasar. Perjalanan dari Tana Grogot (Ibukota Kabupaten) menuju Desa Selengot cukup panjang, membutuhkan waktu sekitar 3 jam perjalanan darat menuju dermaga Desa Lori, dilanjutkan dengan perjalanan air sekitar 1 jam menggunakan “balapan” (kapal kecil bermesin) milik warga karena tidak ada angkutan umum dari Desa Lori menuju Desa Selengot. Karena akses transportasi yang terbatas tersebut, saya bisanya menunggu tumpangan  “balapan” warga yang kebetulan ke Lori. Bagaimana kalau tumpangan balapan tidak ada?
Apa yang terpikir ketika  mendengar daerah pesisir? Pantai? Pernahkah terpikir menghabiskan waktu di tempat yang tidak ada tanah untuk menginjakkan kaki? Melakukan segala aktivitas di atas susunan papan, mulai dari bermain bola sampai upacara bendera dengan pasukan Paskibra yang berjumlah 24 orang?
Di tempat seperti inilah saya tinggal dalam 10 bulan ini menyaksikan ‘anak-anak ajaib’ ini hidup, belajar, dan bermain. Di saat anak laki-laki lain ingin menjadi tentara, ada saja anak yang menjawab bercita-cita menjadi Rhoma Irama.  Di saat banyak anak perempuan bercita-cita menjadi dokter, ada saja yang ingin menjadi biduan. Di saat anak-anak balita bermain di kolam plastik, di sini para balita sudah mahir berenang di laut, anak-anak SD yang sudah bisa menghasilkan uang dengan menangkap kepiting, bagi saya, hal-hal seperti inilah yang bisa dibilang ‘anak ajaib’.
Saya di tugaskan mengajar di SD N 005 Tanjung Harapan, satu satunya SD ditempat kami. Jumlah siswanya adalah 210 siswa, dengan 8 orang guru. Baru satu tahun ini kami mempunyai gedung SMP, anak - anak tidak perlu lagi melanjutkan sekolah ke luar pulau dan tidak melanjutkan sekolah dengan alasan tidak ada biaya untuk melanjutkan sekolah keluar pulau.
Salah satu anak ajaib itu adalah Albar. Albar adalah siswa kelas VI. Dia selalu aktif bertanya di dalam kelas, Akbar pernah bertanya ”Salju itu beneran adakah pak?” “Berarti kita bisa minum es tiap hari di sanakah pak?” dan Albar selalu minta pulang cepat. “Mau menangkap kepiting pak” begitu alasannya. Di Desa Selengot ini banyak anak yang masih SD  tapi sudah menjaadi tulang punggung keluarga dalam mencari nafkah. Mereka biasanya menangkap kepiting di empang, melaut, ataupun jualan kue.
Melihat mereka, ingatan saya melambung pada masa kanak-kanak saya di Bukittinggi. Kami selalu senang kalau guru tidak datang ke sekolah dan kompak teriak gembira kalau pulang sekolah lebih awal karena adanya rapat guru. Berbeda sekali dengan anak – anak ajaib ini yang selalu minta tambahan belajar setelah pulang sekolah, dan kadang datang ke rumah untuk menjemput gurunya.  Ditengah “kesibukan” anak – anak ini mengatur waktu untuk belajar dan membantu orang tua, tetapi semangat mereka tetap tinggi untuk belajar. Anak – anak ajaib ini, mengajarkan banyak hal kepada saya, salah satunya tentang bagaiamana menikmati hidup dengan baik dan tersenyum di setiap keadaan.
Di luar sana, ketika beberapa anak seumuran mereka masih sibuk internetan dan les belajar tambahan sepulang sekolah, anak-anak di sini sedang sibuk membantu orang tuanya. Ketika anak – anak lain di luar sana sering mengeluh dengan sepatu yang sudah “ketinggalan zaman”, anak - anak di sini tetap senang walaupun ke sekolah dengan sepatu yang sudah tidak layak pakai. Ketika di luar sana listrik mati beberapa jam saja sudah “mengumpat – ngumpat”, anak-anak di sini tidak pernah menjadikan listrik sebagai alasan untuk tidak bahagia meskipun listrik tidak pernah ada di desa ini.
Bulan Maret kemarin, 6 anak SD kami berhasil lolos semifinal Olimpiade Sains Kuark (OSK). Semifinal diadakan di Tana Grgot, Ibukota Kabupaten Paser. Nurjaya adalah salah satunya. Dia seringkali dengan polosnya sibuk bertanya kepada saya. “Mana yang lebih asyik naik sepeda motor daripada naik mobil pak?”,  “Wah... ternyata ada rumah yang bertingkat 3 ya pak, gimana cara bikinnya itu pak?,  “Kenapa di desa kami ngga ada jalan raya seperti ini pak ya?, “Pasti enak ke mana-mana naik motor ya pak”?   Pertanyaan-pertanyaan serius dari mereka yang kadang mebuat saya hanya tersenyum.
Saya pernah bertanya kepada Nurjaya, “mau ngga nanti tinggal di Grogot”?, “TIDAK, brisik disana pak, banyak mobil dan ngga bisa main di empang” jawabnya seketika.. Kebahagiaan tidak selalu berhubungan dengan fasilitas yang lengkap dan mewah.
Selama sepuluh bulan ini saya tinggal bersama keluarga baru disini. Orang tua baru   yang memperlakukan saya layaknya sebagai anak sendiri. Tinggal bersama kebaikan demi  kebaikan warga Selengot. Salah satu yang paling sederhana adalah karena ketiadaan transportasi umum keluar desa, saya harus mencari tumpangan balapan warga setiap kali mau ke Grogot.  Saya masih ingat pesan Pengajar Muda sebelum saya, “Jangan pernah berhenti melakukan kebaikan kebaikan ke semua orang karena kamu akan hidup dengan kebaikan kebaikan orang lain.”

Tidak ada alasan rasanya untuk banyak mengeluh dan mudah menyerah dalam memperjuangkan cita cita dengan segala fasilitas yang kita miliki, sedangakan mereka masih terus belajar dengan fasilitas yang terbatas. Tidak ada alasan rasanya untuk tidak tersenyum setiap hari kalau kita lihat senyuman mereka yang selalu ceria  di tengah keterbatasan fasilitas yang mereka punya.




Sabtu, 13 Februari 2016

Tak Kenal Maka Tak Sayang (Guru, siswa dan orang tua)




Ilham adalah siswa kelas VI (siswa saya ketika menjadi Pengajar Muda), kehadirannya selalu membawa kegaduhan di kelas, ada saja yang menangis karena Ilham, bahkan ada saja orang tua yang datang ke sekolah karena anaknya diganggu oleh Ilham. Tidak jarang Ilham juga diusir oleh guru kelas VI karena memang susah diatur. Si anak “bodoh” dan ”tidak bisa diatur”, itulah julukan yang diberikan oleh teman temannya dan guru kepada lham . Namun yang menarik adalah ilham selalu “diam” dan serius kalau belajar matematika. Di antara murid yang lain, Ilham adalah salah satu murid yang cepat mengerti dibandingkan dengan teman teman yang lainnya. Namun ilham akan mengganggu temannya “lagi” ketika dia telah selesai duluan mengerjakan tugas yang diberikan.
Saya sebagai guru matematika Ilham, melihat kemampuan istimewanya dalam bernalar dan berhitung. Saya mengusulkan kepada kepala sekolah untuk membawa Ilham untuk mengikuti olimpiade matematika tingkat Kecamatan. Pada awalnya Kepala Sekolah dan beberapa guru tidak percaya Ilham bakalan bisa, setelah saya ceritkaan, akhirnya Ilham berangkat dan berhaasil JUARA SATU. Pandangan guru berubah ketika ilham berhasil menjadi juara 1 olimpiade matematika tingkat kecamatan.
Di dalam dunia pendidikan, tidak ada anak yang bodoh. Setiap anak adalah juara di bidangnya masing masing, setiap anak mempunyai kecerdesan yang berbeda beda, setiap anak mempunyai caranya belajar masing dan ada beberapa guru terjebak dalam me labeli anak anak nya dengn label “Bodoh” dan “tidak bisa diatur”. Fenomena ini cukup lumrah kita temui di sekitar kita, dengan penyebutan kata “bodoh”  dan kata kata negatif lainnya untuk anak anak kita. Menurut saya salah satu penebabnya adalah guru tidak mengenali karakter dan potensi kecerdasan siswa secara utuh.
Tak kenal maka tak sayang.
Di awal pertemuan banyak orang yang menggunakan pepatah “tak kenal, maka tak sayang” sebagai alasan untuk memperkenalkan diri kepada orang yang baru dijumpai, tidak terkecuali para guru baru yang ingin “disayang muridnya” dengan terlebih dahulu mengenalkan diri. Sayang, perkenalan guru dengan murid sering bertepuk sebelah tangan, sang guru  ingin lebih dikenal oleh para muridnya dari pada sang guru mengenal (karakter atau potensi kecerdasan) muridnya. Pun toh bila guru mengenali muridnya tidak lebih dari identitas diri saja, di antaranya ;  nama lengkap, nama panggilan, alamat dan keluarganya.
Seorang guru yang baik adalah guru yang mengenal  setiap karakter dan potensi kecerdasan siswanya. Guru hendaknya menyadari dan mengajar dalam prespektif kemampuan siswa yang lebih luas dan sekolah tidak lagi menjadi penjara bagi potensi potensi siswa.
Pendidikan merupakan proses untuk memaksimalkan potensi yang terdapat dalam diri siswa. Selain itu, pendidikan memiliki fungsi untuk mengembangkan berbagai aspek kecerdasan dalam diri siswa, antara lain kecerdasan intelektual, kecerdasan intrapersonal, kecerdasan emosional, kecerdasan spiritual, dan berbagai kecerdasan lainnya. Dalam proses siswa untuk memeroleh pendidikan yang memadai bagi dirinya, banyak hal yang berpengaruh terhadap proses berpendidikan tersebut, antara lain dipengaruhi oleh faktor guru dan faktor keluarga. Guru merupakan panutan, teladan, dan pemberi contoh. Secara formal, guru membimbing dan memberikan transformasi keilmuan yang luas bagi siswa untuk mengembangkan dirinya sesuai dengan segala potensinya.
Guru atau sekolah  bukanlah satu satunya faktor yang berperan dalam membantu tumbuh kembangnya siswa. Selain faktor sekolah, faktor dukungan keluarga  adalah faktor yang paling penting untuk membantu anak tumbuh dengan baik, dalam hal ini adalah orang tua. Keluarga adalah pusat pendidikan utama bagi anak. Menurut saya keluarga adalah sebaik baiknya tempat melakukan pendidikan terutama yang berhubungan dengan pendidikan sosial dan karakter.
Dirumah, Ilham mendapatkan perlakuan yang istimewa dari orang tuanya, Ilham adalah anak yang manja, hampir setiap permintaan Ilham, berhasil dia dapatkan dari oang tuanya, meskipun terkadang itu diluar kemampuan orang tuanya Perlakuan yang bertolak belakang antara guru dan orang tua. . Selain guru, Orang tua juga harus mempunyai pengetahuan untuk mengenali potensi dan karakter anak secara utuh. Karena faktororang tua juga sangat mempengaruh terhadap perkembagan potensi anak di sekolah.
Dari segi waktu, pendidikan di lingkungan keluarga lebih banyak diperoleh siswa daripada lingkungan pendidikan formal (persekolahan). Hampir sebagian besar waktu siswa digunakan atau dimanfaatkan dalam tempaan lingkungan keluarga daripada lingkungan formal. Hal tersebut bisa diilustrasikan dengan jumlah waktu siswa yang dihabiskan untuk belajar di lingkungan formal yang berkisar antara 39 Jam – 42 Jam perminggu atau dalam sepekan. Sedangkan selebihnya atau kurang lebih 127 Jam – 129 Jam (sepekan 169 Jam), seorang siswa berada dalam lingkungan keluarganya. 
Keluarga merupakan lingkungan pendidikan informal yang pertama dan yang paling utama dalam proses sosialisasi anak. Selain itu juga sekolah yang merupakan lingkungan pendidikan formal, memegang peranan penting dalam proses sosialisasi anak. Untuk itu kedua lingkungan pendidikan ini, baik formal maupun informal tidak dapat berdiri sendiri dan harus terintegrasi dengan melakukan hubungan kerjasama yang baik antara pihak sekolah dengan orang tua. Agar tidak terjadi kesalah pahaman maupun jurang pemisah antara sekolah dan keluarga.
Idealnya, kolaborasi yang baik diantara sekolah dan keluarga tentu akan menghasilkan pendidikan yang baik buat anak. Sekolah dan keluarga akan beriringan mengisi setiap waktu kehidupan siswa dalam aktivitas kesehariannya dengan spesifikasi yang berbeda-beda. Dengan kolaborasi keluarga dan sekolah, maka akan memberikan efek yang positif terhadap proses pendidikan anak. Secara tak langsung harus terjadinya komunikasi dan hubungan sosial yang baik antara sekolah dan orang tua agar orang tua tidak sepenuhnya menyalahkan pihak sekolah jika anaknya melakukan hal yang diluar aturan dan lain sebagainya, begitu pula sebaliknya.
Tentu harapannya, potensi potensi anak anak seperti Ilham tidak ter sia siakan oleh kita sebagai guru dan orang tua karna kekurang mampuan kita dalam mengenal potensi dan karakter anak anak kita.



Jumat, 01 Mei 2015

tentang aku



Saya akan memperkenalkan sosok yang ada di foto ini dan hal-hal tabu yang jarang diketahui oleh orang tentangnya..
.
Orang tua dia dan sebagian temannya memanggilnya Al,, iyaa.. AL.. banyak yang protes karna nama dia sama dengan Al (anaknya Ahmad Dhani) ataupun Aliando yang menjadi "idola dedek-dedek zaman now"
.
"Heiii... harusnya gw yg protes, karna taun ini gw akan memasuki UMUR 30 TAON, dan idola lo itu baru belasan atau dua puluhan" protes dia, sambil tertegun menyadari bahwa taun ini dia akan masuk KEPALA 3..
.
.
ya, walaupun menurut saya kelakuan dan secara penampakan wajah, dia belum pantas menyandang pria berusia kepala 3, tapi itulah usia, terus berjalan tak bisa dihentikan barang sedetik pun. Usia akan terus berlari dan berjalan walaupun kau momohon untu berhenti biar bisa menarik nafas sejenak ataupun biar bisa memandangi wajah orang-orang yang kau sayangi sampai usia ini berlabuh di peraduannya. Tapi usia akan terus berjalan bro..
.
.
.
Okee.. lanjut cerita tentang dia yg di foto itu. Setau saya, dia adalah fans fanatik Maudy Ayunda ataupun penyuka lagu JKT48. Tapi saya tak bisa menemukan lagu itu di playlist JOOX nya. " Malu sama umur kalau ketauan" katanya ketika saya konfirmasi tentang itu..
.
.
Meskiipun dia memperkenalkan diri sebagai Al, tapi saya memanggilnya Fajri. Dia adalah anak pertama, kapten dari 4 adeknya yg lucu.
.
.
Dia adalah orang yg suka nyinyir dan menggerutu dalam hati kala melihat foto selfie di IG dengan caption motivasi, ketegaran ataupun kepahitan hidup. Padahal dia sedang melakukannya hari ini. Itulah manusia, nyinyirin orang tapi dia juga melalukan.. Fajri.. Fajri..
.
.
Baiklaah.. saya menghimbau marilah kita mulai 2018 ini dengan foto selfie bahagia.
.
.
Dooakan saya istiqomah menulis sampai 30 hari kedepan di IG ini bersama @30haribercerita
.
.
Tulisan ini akan saya tutup dg lawakan tahunan kita bersama.
.
"Waaaahh... tidak terasa tahun 2019 tinggal 11 bulan 30 hari lagi yaa.."
.
.
Salam,